Rabu, 28 Juli 2010

Citarasa Kopi Arabica dari Manggarai


Inilah peta citarasa kopi arabica dari Manggarai yang kami coba lukiskan untuk Anda sekalian. Maksudnya untuk mempermudah pengenalan kita pada kopi khas dari Ruteng, Manggarai ini.

Peta google menuju ke Ruteng, Manggarai, NTT

Lihat Peta Lebih Besar

Anda bisa juga mendapatkan file dari peta citarasa kopi di halaman picasa kami. Sedangkan tentang proses kami melakukan coffee tasting untuk kopi Manggarai ini beberapa saat yang lalu, ceritera lebih lengkapnya dalam Anda ikuti di sini.

Sabtu, 17 Juli 2010

Citarasa kopi

Soal rasa memang perkara subjektif. Apalagi selera. Maka tak mengherankan bicara tentang 'rasa' dekat dengan kenyataan 'suka atau tidak suka'. Ini repot dan karenanya mestinya tak usah dibicarakan. Tapi kopi 'apa pun bentuknya', bagaimana pun adanya, adalah fakta. Fakta, sekali lagi. Bisa disentuh, dipegang, dicerap baunya (aroma-nya), dirasakan-dicecap-dicicip 'seduan'-nya, ditinjau penampilannya, bisa diperiksa asal-usulnya, sejarahnya, dianalisis secara filsafat (ga percaya? Tanya si penulis buku 'Filsafat Kopi'), dst. Nah, kalau tak bisa kita tolak bahwa kopi itu adalah fakta, maka akal budi dan pancaindera tentunya dapat kita pergunakan untuk mendeskripsikannya kan? Maka tentunya pula mendeskripsikan kopi adalah tugas 'rasional' yang sangat menantang untuk mereka yang senang mengamati, mencecap dan menjelaskannya dengan kekuatan akal budi .. Maaf hehe ..

Tapi, pada hemat saya, sebelum menghadapi tantangan mendeskripsikan kopi, saya mendapati bahwa terdapat suatu hambatan yang cukup serius, terutama sejauh terkait dengan upaya menjelaskannya dalam kata-kata. Ini maksudnya supaya pembaca mudah memahami. Lalu apa hambatan itu? Satu saja: Kebiasaan yang telah menjadi kesukaan kita semua pada gula dan rasa manis. Rasa manis yang sudah membudaya di Indonesia. Dan, dari sisi bisnis, adanya faktor dominan rekayasa gastronomik berbasis rasa gula yang dimanipulasi oleh banyak pengusaha makanan dan minuman publik berorientasi super-profit .. Dan, dari sisi etnik, pada hemat saya hal ini tidak hanya berlaku untuk orang Jawa, tapi juga bisa suku-suku yang lain, meskipun tak dapat dipukul rata, tentunya.

Mengapa gula dan rasa manis itu menghambat akal budi saya untuk menjelaskan rasa kopi? Di satu sisi, karena kopi itu sendiri memiliki ciri umum memiliki rasa pahit karena kandungan kafein di dalamnya. Tapi, di sisi lain, seperti saya percaya pada lidah saya, rasa pahit pada kopi itu tidaklah seragam. Intensitasnya berbeda-beda dari satu jenis kopi ke jenis kopi yang lain, dari satu cara menyangrai ke sangrai yang lain. Nah, kalau lidah kita sudah terbiasa dengan gula dan rasa manis, maka jika ada rasa pahit sedikit saja (tentu yang berasa pahit tidak hanya kopi tapi juga jamu atau jenis bumbu tertentu di dapur, misalnya), kita condong buru-buru akan menambahkan gula.

Kebiasaan ini kiranya sangat mendorong timbulnya 'bias' ketika kita hendak memasuki 'keanekaragaman' rasa kopi. Maksudnya, agar kita mampu membeda-bedakan aneka rasa kopi, terlebih dahulu sesungguhnya kita perlu mengatasi bias kerinduan (Freudian?) pada rasa manis. Jadi harap maklum jika pembaca yang suka rasa manis akan sedikit kesulitan memahami pelbagai rasa kopi, terutama kopi-kopi Indonesia, yang sesungguhnya dikenal sangat beraneka ragam, sesuai dengan pluralitas habitat dan ekosistem serta lingkungan tumbuh pohon kopi di Nusantara ini.

Nah, tapi masalahnya: bagaimana mendeskripsikan rasa kopi? Apakah hanya pahit? Lho kok kopi rasanya masam? Ada yang bilang rasanya 'mantap'. Apa maksud 'mantap' untuk rasa kopi? Kopi itu 'harum semerbak'. Atau, sebaliknya, baunya nyaris sudah tak dapat dicerap hidung. Karena ada berbagai macam penilaian, maka tampaknya tentang rasa dan aroma kopi jadi serba tak menentu. Pergulatan menemukan rahasia dan hakikat rasa kopi bisa jadi macet. Dan orang kembali kepada 'suka atau tidak suka', hehe .. Hal ini diperparah oleh hambatan bias kerinduan rasa manis tadi itu.

Tapi, meskipun demikian, setidaknya orang percaya bahwa ada yang 'berasa' pada kopi. Karenanya, sudah pasti orang yang bersangkutan percaya bahwa dimungkinkan dan dipersyaratkan adanya suatu kadar objektivitas, atau setidaknya suatu kemampuan untuk menilai, berkomentar, menengarai, dsb., sebelum ia menyatakan 'suatu' cerapan tertentu dari pancainderanya, apa pun bentuknya, apa pun rasa atau aroma itu.

Padahal, bukankah rasa dan bau (aroma?) adalah dua kenyataan yang memang sulit dinilai? Jika demikian, apakah diperlukan suatu cara 'demokratis' untuk menilainya? Barangkali ya, tapi banyak orang pikir untuk apa pusing-pusing sih? Apa pun pertentangan dan perbedaan pendapat yang mungkin muncul, pada hematnya semua orang kiranya mengaku bahwa sulit mendeskripsikan rasa dan aroma secara objektif. Hal ini persis berbeda kalau kita bicara misalnya tentang bunyi, sebagai suatu fenomena fisik yang dapat dicerap oleh salah satu pancaindera kita yaitu telinga. Deskripsi umumnya relatif lebih mudah: keras, lemah, lembut, lirih. Kiranya juga mudah kita cari alat ukurnya .. Rekam saja dengan tape recorder atau dengan recorder HP, lalu unduh dan baca dengan salah satu perangkat lunak yang sesuai. Maka grafik dan geraknya akan segera muncul .. hehe ..

Baiklah, sebelum kebablasan kita perlu kembali pada: Bagaimana dengan mendeskripsikan rasa kopi? Tapi sebelum mencoba menjawab pertanyaan ini, saya perlu ngaku dulu bahwa saya mengacu dan belajar dari thecoffeefaq.com. Tetapi bersamaan dengan itu, ketika membandingkan berbagai literatur publik ternyata seluk-beluk kopi sudah sangat banyak dikembangkan dalam kosakata bahasa Inggris. Mungkin juga bahasa fleksi dunia Barat yang lain. Kenyataannya dapat dikatakan mereka memang lebih menghargai kopi. Masyarakat Barat, terutama Amerika Serikat, boleh dikata pada umumnya kecanduan kopi. Ada berbagai kontroversi dalam sejarah sejak zaman kolonial, sehingga pada hematnya terdapat banyak sekali warisan berbagai pelajaran yang bisa memiliki banyak manfaatnya, baik yang positif maupun negatif.

***

Nah, singkatnya, kata 'rasa' kiranya lebih sejajar dengan kata 'taste' dalam bahasa Inggris. Lalu, bagaimana dengan kata Inggris 'flavor'? Karena bahasa Inggris sudah lebih banyak dipakai untuk mendeskripsikan dunia perkopian, maka terpaksa kata-kata dalam bahasa Indonesia yang kita pakai kita acukan pada bahasa Inggris. Sedangkan kata Inggris 'flavor' kita sejajarkan dengan 'citarasa'. Hehe .. mudah-mudahan saya tak semena-mena menggunakan kata ini. Penyejajaran ini saya pakai untuk membantu diri saya keluar dari kecondongan menerapkan 'suka atau tak suka', supaya dalam membicarakan tentang rasa, kiranya saya punya sedikit lebih banyak dasar akal sehat. Inilah maksudnya.

Dalam masalah 'citarasa' (flavor) kopi, sekalipun tak sepenuhnya berdasarkan standar, kiranya kita perlu melihat mendasarnya pengakuan tentang adanya dua variabel. Pertama: terkait dengan proses sangrai kopi: sangrai ringan (light, katanya lebih disukai orang Amerika Serikat), medium (gaya Itali), dark roasted (gaya Prancis; juga jadi kebiasaan-kesukaan ibu-ibu di Hokèng, Flores Timur), dst. Kedua: terkait dengan perbedaan jenis biji-biji kopi. Citarasa kopi yang terkait dengan sangrai mengacu pada karakter yang berasal dari biji-biji kopi itu sendiri, termasuk perlakuan-perlakuan yang diberikan pada biji-biji kopi sebelum disangrai. Misalnya, apakah buah kopi dikelupas kulitnya dengan metoda basah atau kering, apakah kemudian dijemur langsung di atas tanah atau justru karena kelalaian disimpan di dekat sabun selama berapa lama? Penyangraian itu sendiri sangat berpengaruh pada citarasa intrinsik dan aroma yang dihasilkan. Seorang penyangrai yang lihai akan berupaya untuk menyeimbangkan semua faktor identitas yang dimiliki oleh biji-biji kopi sehingga hasil sangraiannya sungguh-sungguh mampu menampilkan ciri khas dari biji-biji kopi itu.

Body: terkait dengan bobotnya, terkait dengan mutu teksturnya, persepsi tentang kekentalan atau "kepenuhan" (ada asosiasi 'bentuk'?) ketika mulai kita rasakan cairan kopi pada lidah di dalam mulut. Apakah kata ‘body’ (Inggris) dapat kita terjemahkan menjadi ‘bobot’? Ya, untuk sementara dan demi pemahaman kita, saya putuskan saya gunakan padanan kata ‘bobot’ untuk kata Inggris yang sering dipakai dalam tengara ciri kopi ini. Saya tak ambil kata ‘tubuh’ atau ‘badan’ yang juga dekat sekali maknanya dengan asosiasi padanan kata ‘body’.

‘Bobot’ dari cairan kopi terkait dengan tingkatan hasil sangrai. 'Bobot' dari kopi akan jadi rusak, jika kita kebablasan ketika menyangrai. Tapi 'bobot' juga dapat dipengaruhi oleh kondisi asal dari biji kopi itu sendiri. Setidaknya di sini diakui adanya dua variabel itu, yaitu variabel proses atau cara sangrai dan variabel ciri asal kopi. 'Bobot' dapat dibedakan dari 'ketebalan'-nya (thickness, viscocity), yang dapat dipelajari dari metode penyeduan yang diterapkan, apakah menggunakan model 'pressing' seperti alat French press ataukah model 'espresso'. Dengan French press, partikel-partikel halus dari kopi tetap bertahan di dalam bubuk kopi. Sedangkan dengan model espresso, yang menggunakan tekanan udara, kandungan minyak dari dalam biji kopi ikut terserap keluar ke dalam cairan emulsi kopi. Tapi ingat pula, bahwa kopi yang kurang diserap atau diekstrak secara memadai akan menghasilkan 'bobot' emulsi kopi yang 'ringan' atau kurang berbobot ..

Berikut ini adalah ciri-ciri yang dilukiskan dengan menggunakan kata-kata sifat yang dapat menengarai citarasa kopi. Di antaranya adalah rasa yang ‘seimbang’, tajam pahitnya, pahit-manis, asam, dst.

Aroma. Komponen ini adalah komponen yang paling sering ditengarai orang. Dicerap oleh indera hidung yang merupakan alat sensor bau. Lukisannya dengan kata sifat dapat berentang antara: harum, semerbak, wangi, dst. Aroma berkaitan tentu saja dengan kedua varibel perkopian itu: sangrai dan jenis asalnya. Secara efektif aroma kopi mulai lebih jelas berasa pada hidung kita, pada hemat saya, terutama setelah biji-biji kopi yang tersangrai itu digiling. Memang ketika disangrai, aroma kopi sudah muncul dan mulai berkembang, dan menjadi lebih jelas lagi ketika unsur gula di dalam biji-biji kopi mulai muncul. Yang terakhir inilah yang sering disebut dengan proses ‘karamelisasi’. Karamel artinya kandunga gula .. Tetapi, yang sangat krusial, adalah justru setelah biji kopi tersangrai digiling, maka karakter aslinya menjadi lebih ‘kentara’, atau ‘mencolok’. Jika Anda sering menggiling kopi sendiri, maka kemungkinan besar akan Anda dapat di sekitar teman Anda menggiling, misalnya dapur, akan terus bersisa aroma kopi, bahkan setelah beberapa hari. Fakta lain yang perlu dicatat adalah bahwa komponen-komponen aromatik yang beterbangan ketika kopi disedu memainkan peranan sangat penting yang menentukan karakter citarasa kopi yang bersangkutan.

Seimbang. Hasil sedu kopi yang Anda minum memiliki suatu keseimbangan dari berbagai cirinya. Tak ada salah satu cirinya yang mendominasi. Penilaian ini tentu juga sangat bergantung pada variabel sangrai dan variabel dari jenis asal kopi. Apakah kata ‘seimbang’ ini dapat kita padankan dengan kata ‘gurih’? Kata ini saya dapat dari mbak Kristin yang spontan berkomentar tentang citarasa kopi.

Pahit (tapi juga ‘manis’): Rasa pahit dan intensitasnya sangat bergantung pada variabel sangrai dan perlakuan-perlakuan yang telah diberikan terutama oleh para petani yang bersangkutan atau para pengelola pasca-panen kopi. Tak semua orang tak suka rasa pahit. Dan tak semua rasa pahit itu tak berguna untuk kesehatan tubuh kita, tentu dalam kadar ukuran penerapannya. Jamu contohnya. Tapi rasa pahit merupakan rasa yang umumnya kurang disukai orang. Dan perlu diingat bahwa rasa pahit ‘dapat dikendalikan’ (lihat posting sebelumnya: Mengapa kopi berasa pahit?).

Asam -- acid; pada hemat saya, rasa ‘asam’ pada kopi lebih terkait dengan asal dan varietas kopi, tetapi juga dapat terkait dengan variabel sangrai. Jika disangrai sampai terlalu gosong, maka tentunya rasa asam itu akan berkurang dan bisa sampai hilang. Agar masyarakat tidak tambah bingung, para retailer kopi di dunia Barat dianjurkan tidak menggunakan kata ‘acid’ untuk menjelaskan rasa kopi, tetapi mereka diminta untuk lebih menggunakan kata ‘bright’ (cerah?) atau ‘lively’ (bergairah?). [Mungkinkah: Kopi itu rasanya cerah? Atau rasanya kopi itu sangat bergairah? Atau ‘menggairahkan’? Mengapa tidak?]. Kopi yang memiliki rasa asam kebanyakan adalah kopi varietas Arabica. Kita orang Indonesia pada umumnya jarang mengonsumsi kopi jenis ini, sehingga kita juga kurang kenal rasa asam dari kopi. Tapi bisa teman-teman bayangkan jika anak-anak muda Jakarta tak kurang suka pada minuman kopi yang dicampur dengan jeruk? Atau yang lebih mereka sebut dengan ‘lemon coffee’?

Citarasa tambahan yang lain, misalnya berasa seperti kayu terpanggang, atau terbakar; berasa seperti jerami atau rumput; bersaput rasa buah-buahan, dst. Citarasa tambahan ini sangat bergantung pada jenis kopi. Citarasa yang khas ini dapat menimbulkan sensasi positif yang membuat orang lebih menyukai kopi, sehingga terdapat kemungkinan besar untuk direkayasa. Biji kopi yang tersimpan bersama sabun pada akhirnya dapat berasa sabun atau rasa aneh yang lain. Lalu mengapa orang tak dapat merekayasa kopi dengan rasa durian atau mangga, misalnya? Tentunya ..

Kecoklat-coklatan, seperti aroma roti dipanggang? . Kopi tersangrai dengan baik, dan mengeluarkan citarasa yang mirip dengan roti dipanggang, atau memiliki kandungan rasa seperti coklat.

Berasa seperti jamu. Terdapat kopi yang memiliki saputan rasa seperti jamu. Katanya, kopi dari Brazil dari kawasan Rio de Janiero memiliki rasa yang dilukiskan mirip dengan obat-obatan alamiah, lalu mereka menggunakan kata jadian 'rioy'.

Berasa seperti tanah. Rasa ini, katanya, cukup sering tampil dari kopi-kopi yang berasal dari Indonesia. Katanya, rasa ini mungkin karena kopi dijemur di atas tanah. Rasa ‘tanah’ (earthy, natural) ini termasuk di antara yang disukai oleh para peminum di tingkat dunia.


Berikut ini adalah beberapa ‘lukisan’ rasa kopi yang lebih condong berkonotasi negatif yang mengarah pada mutu kopi yang jelek atau rendah.

Berbau tajam (tajam menyengat?), tidak sedap (acrid). Barangkali juga dekat dengan kata ‘getir’. Kata ‘acrid’ dalam bahasa Inggris dipakai misalnya untuk melukiskan bau yang muncul ketika karet ban mobil dibakar; asapnya juga dapat membuat mata menjadi berasa perih atau ‘pedas’. Saya belum pernah merasakan kopi sampai sedemikian parahnya seperti bau ban dibakar sih ..

Kecut, masam. Umumnya akan beracu pada padanan kata ‘masam’, ‘kecut’, ‘ketar’, ‘asam’ (sour), misalnya seperti rasa mangga muda atau cuka. Namun kata ‘sour’ ini perlu dibedakan dari

Hambar, cemplang (flat? blandtasteless, weak?)

Apak (apek?), kepam (musty)

Berjamur, bulukan (moldy, mildewy?). Keadaan dapat memengaruhi sampai ke bau kopi yang bersangkutan.

Jumat, 16 Juli 2010

Sangrai Ringan untuk Kopi Arabica Manggarai Paling Pas?

Akhirnya kami coba juga menyangrai kopi Arabica dari Manggarai dengan gaya medium roast. Dua jenis sangrai yang lain telah saya tuliskan ceriteranya dalam posting sebelumnya.

Hasilnya? Aneh sekali.

Kami temukan kopi Arabica ini pada umumnya tak berasa pahit. Bobotnya tetap bertahan. Rasa asam juga nyaris sirna seperti jika disangrai dengan gaya dark roast. Percobaan ini seperti membuka khazanah baru, bahwa kopi tidak selalu mengandung rasa pahit.

Alhasil, untuk seluruh proses pengujian cepat ini, kopi Arabica (+Columbia?) ini kiranya akan paling terkuak citarasanya jika disangrai secara ‘ringan’ (light roast). Dwi dan saya tampaknya setuju bahwa rasa asam kopi ini mampu membuat peminumnya jadi ketagihan. Model ini tampaknya juga dikonfirmasikan oleh Savitri. Tapi kami masih akan minta konfirmasi dari Bagus. [prasetyohadi]

Rabu, 14 Juli 2010

Coffee cupping - Kopi Arabica dari Kanisius Deki, Manggarai, NTT

Selasa sore ini (13/7) ini kami berlagak jadi penguji mutu kopi: Dwi, Bagus dan Pras. Kopi yang dicicip adalah kopi Arabica asal Manggarai, NTT. Tim pelatihan hak ecosoc untuk para pemuka agama NTT di Manggarai baru saja pulang. Kami bergembira sekali karena kegiatan pelatihan berlangsung lancar dan banyak membuahkan hasil, termasuk mereka bawa lima kilogram kopi Arabica dari pemberian Kanisius Deki, partner peneliti asal dari Manggarai. Barangkali kopi yang diberikannya pada kita itu berasal dari kebunnya sendiri.

Kami penasaran dengan rasa kopi Manggarai yang khas ini. Maka tak sabar lagi kami mau mencobanya. Tapi tak seperti yang sudah-sudah, biasanya kami asal minum sedu kopi baru yang kami dapat. Kali ini kami siapkan formulir pengujian. Saya ambil dari coffeeresearch.org. Yang kita uji di antaranya adalah “fragrance, aroma, flavor, acidity, body, aftertaste.” Kiranya ini adalah enam unsur penting dari hasil bumi kopi bagi para konsumen-penikmat-penguji. Maaf, keenam komponen ini masih dalam istilah bahasa Inggris. Dan maaf juga kami juga tidak seteliti seperti yang dikerangkakan oleh coffeeresearch itu. Nanti dalam posting lain akan saya coba dekati, entah berhasil atau tidak.

Hasilnya bagaimana? Memang belum ada perbandingan dengan kopi-kopi sejenis yang lain. Tapi kami —yang cukup sering minum kopi dan saya juga sering meminta plus setengah memaksa mbak Dwi dan Bagus untuk cicip dan berkomentar— tampaknya agak terkejut dengan mutu kopi ini.

Kombinasi rata-rata untuk nilai mutu kopi ini dari masing-masing kami tukang minum kopi sebagai berikut ini. Bisa juga dilihat detilnya di google doc ini: Coffee Cupping.

Dwi: Light Roasted (disingkat LR, sangrai ringan, coklat gaya Amerika): 6.33; Dark Roasted (DR, sangrai matang, gaya Prancis): 6,42. Tampaknya Dwi suka dengan gaya Amerika. Tapi dia juga sekaligus lebih suka jika bisa dicoba gaya MR (Medium Roasted), tapi ini menyangrainya agak sulit.

Bagus — LR: 7,5; DR: juga sama 7,5. Buat Bagus tampak sama-sama enak untuk kedua gaya sangrai yang saya coba. Tapi Bagus juga tampak condong lebih suka LR, karena dia sampai menyeruput terus sisa kopi di cangkirnya meskipun sudah habis. ‘Bikin ketagihan,’ tulisnya di komentar formulir. Bagus juga tampak ‘murah hati’ memberi penilaian pada kopi ini.

Saya, Prasetyohadi: LR: 6,67; DR: 6,33. Baru saya kemudian sadar tampaknya saya lebih suka rada gosong gaya Prancis. Tapi terus terang saya merasakan ‘body’ dari kopi ini lebih mantap jika disangrai ringan daripada matang. Saya mendapatkan sensasi rasa asam yang berkarakter dari kopi ini. Seperti mbak Dwi menengarai, nyaris rasa pahit kopi ini hilang sama sekali jika disangrai ringan. Tapi untuk Dwi, model ini jangan-jangan adalah penyangraian yang belum matang.

Tapi terus-terang ketika menyangrai, saya benar-benar coba berhenti sesuai dengan petunjuk sangrai yang saya pikir sesuai pedoman dasarnya. Yang lebih sulit bagi saya adalah meneruskan penyangraian yang jarak waktunya sangat pendek, sementara alat sangrai rekayasa saya itu tak mampu membuat saya dapat melihat perubahan warna dari biji kopi ketika disangrai. Inilah kelemahannya. Tapi rasanya ini masih tergolong kelemahan minor, jika sesungguhnya alat sangrai itu hanya saya maksudkan untuk kepentingan menyediakan pasokan warkop dan bukan coffee house yang lebih tinggi tingkat profesionalitasnya ..

Tapi di antara kami bertiga sebagai peminum kopi, tampaknya kami setuju bahwa kopi Manggarai yang diupayakan oleh Kanisius Deki ini bukanlah kopi-kopi biasa yang biasanya beredar di pasar-pasar tradisional. Bahkan mbak Dwi berkomentar bahwa Kopi Aroma dari Bandung, yang sangat tersohor itu pun tidak memiliki jenis kopi Arabica dari teman kita Kanis ini. Kopi ini kiranya tergolong kopi upmarket untuk konsumsi penikmat kopi papan atas dengan kocek tebal di dunia antah berantah di Amerika Serikat atau Eropa Barat. Barangkali.

Pantaslah jika para petani Manggarai mengeluh bahwa harga Rp20.000 per kilogram telah dirasa tidak adil dalam perdagangan kopi. Kita benar-benar harus pikir ulang jika memang mau menawarkan kopi Arabica dari Kanis ini ke para konsumen warkop kita itu .. [Prasetyohadi]

Kamis, 08 Juli 2010

Secangkir Kopi: Bertemunya Logika dan Perasaan

Tahun 1995 sekumpulan programer komputer dari Standford University menemukan satu varian bahasa program yang terlalu maju di jamannya. Bagaimana tidak, menghubungkan kecanggihan komputer dengan perangkat elektronik lain seperti TV, radio, atau handphone mustahil dilakukan bahkan dianggap gila di jaman itu. Lain dengan kini, mengakses siaran TV atau radio bisa dilakukan dari komputer. Bahkan mengolah dokumen, berkirim email, sambil mendengarkan lagu bisa dilakukan dalam handphone segenggam tangan. Sesuatu yang taken for granted di jaman sekarang ini, mustahil dilakukan di tahun 90-an.

Sementara menyusun bahasa program yang menghubungkan antar perangkat elektronik itu, para programer itu masih belum menemukan juga nama yang pas untuk bahasa program varian baru itu. Ya, nama untuk suatu bahasa program diperlukan untuk membedakan dengan bahasa program lain yang berkembang di saat itu. Debat di kalangan programer tidak menunjukkan titik kesepakatan untuk sebuah nama. Sampai satu pertanyaan muncul: "Apa perasaaan Anda dengan penemuan ini?". Seorang menjawab: "Saya merasa bergairah!". Seorang lagi menjawab: "Saya merasakan kelembutan sutra". Yang lain menjawab: "Saya merasakan sebuah sajak ". Yang lain lagi menjawab: "Saya merasakan java!". Nah! Itu dia Java! Semua sepakat menggunakan istilah Java. Java merupakan bahasa gaul di tempat itu untuk menyebut secangkir kopi. Hingga saat ini bahasa program itu dikenal dengan istilah Java dengan logo secangkir kopi.

Begitulah, bahasa program Java yang tersusun secara logis ketat dan ditemukan oleh programer-programer yang memiliki paradigma logika matematis, ternyata namanya muncul dari sebuah ungkapan perasaan atas secangkir kopi. Secangkir kopi panas yang menemani lembur bermalam-malam seorang programer.

Minggu, 04 Juli 2010

Mengapa Kopi Berasa Pahit?

Krups 203-42 Fast Touch Coffee Grinder, BlackBanyak orang tak suka kopi karena rasa pahitnya. ‘Orang namanya kopi, ya pasti pahit,’ begitu komentar pak Karnadi, yang lidahnya sudah terbiasa dengan kopi sembarangan, asal dapat, asal minum, apalagi kalau disuguh.

Memang, ciri khas kopi itu sendiri adalah rasa pahit itu. Pada kopi arabica, dalam kadar yang rendah, rasa pahit itu sendiri dapat mengompensasikan rasa asam, dan karenanya rasa pahit dapat menambah dimensi khas pada karakter secangkir kopi. Namun, pada kadar rasa pahit yang tinggi, secangkir kopi pahit dapat menyapu rata semua komponen rasa lain yang dimiliki oleh biji-biji kopi, sehingga malah menimbulkan dampak rasa yang kurang enak.

Pada hematnya, rasa pahit dari kopi terdeteksi karena terjadi interaksi antara senyawa kimia tertentu dengan bagian tengah agak belakang dari lidah kita manusia (circulvallate papillae). Tajamnya rasa kopi terdeteksi karena terjadi interaksi mendadak antara kopi yang kita minum dengan kandungan protein dalam ludah pada lidah kita.

Makanya, dapat kita mengerti mengapa banyak orang sering salah mengidentifikasi bahwa tajamnya rasa pahit kopi itu atau ciri-ciri rasa lain yang terkandung dalam kopi hanya dengan 'semena-mena' menyebutnya sebagai ‘berasa pahit’. Kopi itu ya pasti pahit .. Itulah kasus komentar dari pak Karnadi, si mantan tukang becak itu.

Di sini kita mau melihat lebih dekat senyawa-senyawa apa saja yang akhirnya membuat kopi itu umumnya berasa pahit dan senyawa-senyawa lain yang bisa membuat kopi lebih tajam lagi rasa pahitnya. Ini kita sarikan dari link internet ini .. coffeeresearch.org.


Beberapa faktor penyebab rasa pahit pada kopi

• Rasa pahit itu terkait oleh proses bagaimana secangkir kopi itu diekstraksikan, atau didapatkan, atau dibuat. Ini berkaitan dengan cara menyangrai, kandungan mineral dalam air yang digunakan untuk menyedu, suhu air, rentang waktu menyedu, ukuran hasil penggilingan dan prosedur dalam menyedu.
• Menurut pakar kopi Voilley 1980:251, rasa pahit berkurang jika kopi disedu dengan air yang telah didistilasikan terlebih dahulu.
• Rasa pahit terkait dengan total volume substansi padat yang terkandung dalam biji-biji kopi.
• Persepsi rasa pahit berkurang jika kopi disedu dengan air panas daripada dengan air dingin. Pengandaiannya adalah bahwa rasa pahit muncul karena anasir aromatik terlepas ketika dipanaskan dalam air, yang melawan semakin tingginya kemunculan rasa pahit (Volley 1980:287)
• Rasa pahit kopi berkurang jika ditambah gula, sodium klorida, atau asam sitrik.
• Kopi robusta (yang kebanyakan diminum oleh orang Indonesia) mengandung unsur kafein dan asam klorogenik yang lebih tinggi daripada kopi arabica. Kedua anasir itu merupakan faktor penyebab munculnya rasa pahit dan tajamnya rasa pahit pada kopi.
• Beberapa peneliti menemukan bahwa proses mengelupas kulit kopi pada tingkat petani (baik dengan proses basah maupun proses kering) tidaklah mempengaruhi tingkat rasa pahit, tetapi proses itu terutama mempengaruhi profil dari cita rasa kopi (flavor).
• Kafein memiliki ciri khas berasa pahit dan memiliki ambang pengujian hanya 75-155 miligram per liter. Sementara peneliti Volley berpendapat bahwa kafein hanya berperan sebanyak 10% saja dalam mempengaruhi derajat rasa pahit.
• Peneliti Hardwick menemukan bahwa rasa pahit kopi berkurang jika dicampur dengan polifenol, salah satu unsur antioksidan yang terkandung dalam buah-buahan dan banyak tanaman pangan yang lain. (Tentu saja kan? Coba campurlah antara kopi dan sari buah atau sari sayur misalnya.)
• Peneliti lain, Maier, menyatkan bahwa rasa asam pada kopi arabica berkurang jika rasa pahit kopi yang bersangkutan meningkat. (Tentu saja. Ini orang bego juga tahu ..)
• Wah, observasi yang lain rasanya terlalu kimiawi teknis banget. Kita jadi kagak ngarti ..

Bagaimana caranya membuat agar kopi tak jadi semakin pahit?

Alat sedu kopi
yang diistilahi 'model drip' ini
kan sering kita lihat
di supermarket itu ..
• Jangan menyangrai sampai jadi terlalu gosong .. Di samping itu, kopi yang disangrai sampai mencapai ukuran tengah (medium) memiliki substansi padat yang lebih sulit mencair, dan juga mengandung lebih banyak unsur asam, serta tentu saja mengandung potensi aroma yang lebih kuat.
• Dilakukan proses dekafeinasi .. Bayangkan kita sedot kafein dari kopi robusta yang melimpah di Indonesia itu ..
• Ketika masih berada pada tingkat pengelolaan pasca-panen di tingkat petani, dianjurkan untuk merendam kopi dalam air segar kira-kira selama 24 jam setelah proses fermentasi. Ini dilakukan oleh para petani di Kenya, Afrika.
• Menyedu kopi dengan sistem ‘drip’ daripada pakai sistem saring Prancis (French press). Intinya: Jangan direndam dalam air panas lebih lama, supaya rasa pahit jangan boleh larut lebih banyak .
• Jangan digiling terlalu halus, tapi kasar-kasar saja, supaya unsur faktor pahit jangan banyak larut ..